- Kentang sebanyak 1 kali
- Wortel 2 kali
- Kopi 1 musim
![]() |
Ibu Meong bareng Rumi waktu naik Prau |
Catatan penyulam kata
![]() |
Ibu Meong bareng Rumi waktu naik Prau |
Wahai, kalian para pengelana, apa yang menjadi kebiasaan kalian saat melakukan perjalanan atau traveling? Apakah berbekal itinerary detail dan lengkap ataukah suka-suka alias tanpa rencana? Aku sendiri sih dasarnya bukan orang yang tertib dalam perencanaan. Tapi tak terlalu gambling atau impulsif juga. Cuma ya "begitu saja", rencana secukupnya, selebihnya mengalir.
Kebetulan bulan kemarin melakukan perjalanan yang sebagian besarnya tak terencana. Jangan bayangkan itu perjalanan yang menantang dan membutuhkan keberanian, karena medannya ya memang sudah kukenali. Hanya tak terencana saja. Namun, suatu kali aku ingin melakukannya. Sebuah perjalanan tanpa rencana ke kawasan yang tak kukenal sebelumnya. Seru kayaknya.
Nah, aku coba kumpulkan catatan dari beberapa sumber soal perjalanan positif-negatifnya perjalanan dengan dan tanpa rencana.
Perjalanan dengan Rencana (Detail)
Dalam banyak kasus, hal-hal yang terorganisir dengan baik memang memudahkan. Kita langsung tahu mau ke mana, mau melakukan apa, begitu tiba di tempat tujuan. Paling tidak itu yang bisa kupelajari dari beberapa kali melakukan perjalanan bersama biro travel.
Di dunia traveling dikenal istilah itinerary, yakni rencana kegiatan yang akan dilakukan selama perjalanan atau waktu yang ditentukan untuk liburan.
Berikut beberapa kemudahan dengan membuat rencana yang detail.
1. Pemanfaatan waktu secara optimal. Dengan membuat itinerary, perencanaan waktu lebih tertata. Tentu saja tetap memperhitungkan hal-hal di luar prediksi seperti kemacetan lalu lintas. Dan tetap perlu disiapkan plan B. Meski demikian dengan itinerary mengurangi risiko molornya waktu.
2. Dengan ketepatan waktu, jam berapa menuju ke mana, berapa lama perjalanan, durasi kunjungan, dsb. maka titik-titik kunjungan yang telah direncanakan pun dapat terpenuhi. Tidak ada destinasi yang terlewatkan.
3. Itinerary mempermudah dalam budgeting. Pengeluaran yang terencana masih sering bikin kita kebobolan, apalagi yang tanpa perencanaan sama sekali. Di sini kita butuh survei terkait biaya perjalanan, harga tiket jika melakukan kunjungan wisata, tarif hotel jika perlu menginap, biaya konsumsi, tarif guide person jika dibutuhkan, serta biaya akomodasi lainnya.
4. Perencanaan yang baik juga dibutuhkan untuk membantu kita menyiapkan barang bawaan. Jangan sampai kejadian kita kelebihan berat untuk bagasi pesawat. Atau bikin kita kelelahan menanggung beban bawaan. Liburan bukannya gembira, jadinya malah seluruh otot pegal, linu, nyeri, dsb. Pun sebaliknya, jangan sampai karena ingin berhemat bawaan, barang-barang yang penting terlewatkan karena kurang persiapan.
5. Persiapan matang mengurangi risiko dipalak. Siapa yang malak? Siapa pun yang bermaksud mengambil keuntungan dari orang yang tak kenal medan. Riset awal bisa membantu kita mengetahui harga yang sesungguhnya.
Menyiapkan itinerary membutuhkan upaya ekstra. Mulai dari menyiapkan daftar, membuat perbandingan, bikin riset--meski sederhana tetap saja butuh upaya, dan lain-lain yang bagi sebagian orang pasti terasa ribet. Namun, ketika itenerary sudah disiapkan secara detail, proses di lapangannya jadi lebih lancar.
Baca juga: Bertandang ke Gunung Padang
Perjalanan Tanpa Rencana (Detail)
Tanpa rencana itu bukan berarti impulsif, loh, ya. Jika impulsif, kita mudah berubah pikiran, berubah rencana karena mendapatkan pengaruh dari luar, atau sedang gabut, tidak punya agenda . Misalnya tiba-tiba menemukan brosur destinasi baru yang menarik, atau mendapatkan cerita dari orang yang ditemui dalam perjalanan, atau alasan lainnya.
Atau, nggak soal jika awalnya impulsif, tapi dalam perkembangannya dibarengi dengan perencanaan, meski tidak secara detail.
Nah, mengapa, sih, orang melakukan perjalanan tanpa rencana detail?
Ada beberapa alasan yang membuat orang memilih untuk melakukan perjalanan santai, tanpa rencana.
1. Melepaskan diri dari rutinitas. Kadang, rutinitas terasa membosankan. Jika pekerja kantoran dengan jam reguler, tiap hari memiliki aktivitas rutin berangkat kerja, istirahat, pulang, hingga 5-6 hari kerja. Aktivitas lain pun akhirnya mengikuti; olahraga yang terjadwal, berjumpa teman pun terjadwal, begitu pula masa liburan. Nah, mengapa tidak, di luar soal "waktu", liburannya dibuat bebas saja?
Dalam liburan tanpa rencana dapat memunculkan spontanitas yang menyenangkan.
2. Tersedianya berbagai fasilitas berbasis teknologi. Selagi teknologi tersedia, ada cukup banyak hal yang bisa diakses cepat. Mencari lokasi tinggal cari map online. Mencari hotel dan penginapan tinggal pesan online. Kendaraan bisa pesan online kapan saja. Dunia dalam genggaman.
3. Keinginan untuk lebih santai, tanpa terpenjara oleh jadwal ketat yang membuat liburan jadi serba terburu-buru. Bisa memilih sendiri tujuan dengan leluasa, berhenti saat lelah, jeda saat bosan, mencari hiburan ketika kehilangan mood. Pendek kata, perjalanan tanpa rencana ini dapat memunculkan potensi diri yang sebelumnya tak muncul ke permukaan.
4. Menemukan kejutan menyenangkan. Tanpa rencana detail sangat mungkin kita akan terbawa ke dalam kondisi yang tak biasa. Tersesat dalam perjalanan, menjumpai orang asing yang menarik, menemukan tempat nongkrong yang unik, dsb.
Tentu saja hal ini terjadi jika kita memilih untuk tidak bermain ke wilayah-wilayah mainstream.
5. Biaya dapat lebih fleksibel. Perjalanan tanpa rencana biasanya dadakan dan pilihannya adalah destinasi yang tak jauh-jauh amat. Bisa pula dadakannya karena menemukan promo atau diskon sarana transportasi, tempat menginap, dll. yang memungkinkan kita mendapatkan harga yang "bagus".
Seru, kan? Yup, perjalanan tanpa rencana bisa jadi sangat seru. Yang perlu jadi catatan adalah risiko; mesti siap dengan segala kemungkinan.
Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas Semarang
Dengan atau Tanpa Rencana Detail, yang Penting Jalan!
Nah, ini kesimpulan pentingnya: yang penting jalan! Lakukan, bukan hanya rencanakan. Jalan-jalan dapat menjadi hiburan bagi kita di tengah rutinitas. Jeda dari kegiatan atau pekerjaan yang mematok kita pada hal yang itu-itu saja. Memilih waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Me time. Selain jalan-jalan, sebetulnya banyak aktivitas me time lainnya. Seperti yang biasa dilakukan kawan blogger yang dapat dilihat di Sunglowmama Blog. Ada bahasan soal journaling bagi yang tertarik, journaling untuk ibu sibuk.
Aku sendiri, tahun ini mennyemangati diri untuk menjadi sesesorang yang lebih spontan, tak terlalu banyak rencana, tak overthinking. Dan tentu saja salah satunya adalah dalam konteks jalan-jalan. Sudah membuat daftar pendek kota tujuan, dengan rencana yang tak terlalu kental.
Ada yang tahun ini juga punya agenda yang sama? Melakukan traveling atau perjalanan secara berkala? Yuk, kita lakukan perjalanan, baik dengan itinerary detail maupun dengan spontan. Atau membuat kombinasi di antara keduanya.
Bulan lalu aku sudah melakukannya. Rencana yang awalnya hanya ke Wonosobo, lantas, begitu saja berlanjut ke 2 destinasi lainnya, yaitu ke Bali dan ke kampung halaman di Jatim. Ada beberapa tulisan yang nanti aku akan bagikan di blog.
Selamat menyiapkan perjalanan, ya. Happy traveling!
Baca juga: Jelajah Taman Buru Masigit-Kareumbi
Bernapas merupakan sebuah aktivitas yang kita lakukan secara otomatis setiap saat. Saking biasanya sampai kita baru sadar betapa pentingnya urusan napas ketika aktivitas ini mengalami gangguan. Ketika oksigen terbatas, atau saluran napas kita yang mengalami gangguan. Betul, 'kan? Bahkan sekadar menyadari napas pun suatu hal penting di tengah rutinitas kita yang nyaris abai terhadap hal-hal yang ada di depan mata. Tak heran jika olah napas menjadi salah satu topik di masa kini, ketika orang ingin kembali menjalani hidup yang lebih sehat dan alamiah.
Baca juga: Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR
Saat ini begitu banyak kita lembaga pelatihan, kursus, dan buku-buku panduan yang "menjual" pelajaran tentang bernapas. Tak jadi soal, sih. Toh mereka memiliki kesadaran lebih dulu bahwa tema ini bisa jadi barang jualan. Baik yang sekadar mengambil materi copas, maupun memang mereka mengajar dan menulis berangkat dari pengalaman dan kemampuan yang sudah dikembangkan.
Mengapa Perlu Menyadari Napas?
Napas, ya. Bukan nafas! Hehe ... ini kata saya yang adalah tukang sunting.
Aku diingatkan tentang "menyadari napas" ini jauh-jauh hari ketika mulai tertarik dengan dunia spiritualitas. Menyadari napas artinya berada dalam kesadaran di masa sekarang, masa kini, present. Namun, dalam perjalanannya, semua teori itu seolah terlupakan. Menuliskannya lagi di sini, selain mengajak kalian, yang lebih utama adalah mengingatkan ke diri sendiri, betapa bermanfaatnya melakukan olah napas ini.
Suatu kali aku datang ke lokasi aku belajar BCR sekaligus rumah pengajar/mentornya, dr. Dhavid Avandijaya Wartono. Kuceritakan apa yang baru terjadi pada awal Januari lalu.
"Dok, saya baru melakukan hal yang selama ini tak pernah saya lakukan. Saya lepas kontrol karena kemarahan dan rasa sakit hati saya."
"Apa yang kamu lakukan?"
"Saya pukul pintu, pukul lantai, saya terisak kuat-kuat. Dada saya terasa mau meledak. Telapak tangan saya membiru."
"Kamu lupa dengan tools-mu?"
"Hah?"
"Bernapas itu salah satu tools-mu. Kenapa tidak kamu lakukan?"
"Nggak ingat, dok."
Itu terjadi. Jika diingat-ingat lagi, aku pun heran, bagaimana ceritanya aku bisa semeledak itu.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Pada masa kuliah dulu aku pernah meledak. Bukan karena marah. Namun, lebih karena luapan emosi yang tak tertanggungkan. Sebetulnya mirip juga, sih. Tapi, ya, saat itu bukan marah. Lebih campur-campur antara sedih, malu, kecewa, marah, sakit hati, yang akhirnya membawaku berobat ke psikiater. Tapi itu dulu. Kenapa sekarang, setelah melewati proses panjang self-healing, masih terjadi ledakan itu? Tak bisa tidak, memang ada hal yang mesti kembali dibenahi. Berubah tak boleh tanggung-tanggung. Karena, jika tidak, ya akan kembali berkubang di hal yang sama.
Eits, kok jadi ke mana-mana. Ini jadi gambaran saja, betapa hal yang menyulut emosi bisa terjadi kapan saja. Kita lupa sedikit saja, ya balik lagi.
So, baiklah. Mari kita kembali belajar bernapas.
Mengolah Napas
Belajar bernapas? Bukankah kita sudah otomatis bernapas sedari lahir, bahkan sebelum kita menyadari apa pun? Apa yang perlu dipelajari?
Semata bernapas dan mengolah napas tentu saja berbeda makna. Seperti halnya bergerak dan berolahraga. Ada tujuan tertentu dengan kita berupaya melakukan suatu hal secara konsisten. Seperti halnya olahraga, olah napas mengacu pada latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi mental, fisik, dan spiritual.
“Tak peduli apa yang kamu makan, seberapa banyak kamu berolahraga, bagaimanapun bentuk tubuhmu, semua itu tak ada gunanya jika kamu tidak bernapas dengan benar.” Demikian kata jurnalis James Nestor dalam buku yang ditulisnya, Breath: The New Science of a Lost Art.
Nestor mengkritisi betapa kita peduli dengan asupan makanan, minuman, bahkan berolah raga, tapi melupakan perihal napas yang otomatis--tanpa usaha ekstra--yang kita lakukan pada setiap saat. Demi bukunya tersebut, membuat riset mendalam perihal napas, baik dari pengalamannya sendiri maupun melalui eksperimen-eksperimen yang ia lakukan.
Dalam bukunya tersebutm Nestor menyampaikan teknik sederhana yang menjadi dasar olah napas, yakni:
5,5 detik tarik napas, lalu 5,5 detik kemudian embus. Proses pernapasan dilakukan melalui hidung, napas ditarik hingga ke perut hingga diafragma berkembang dan paru-paru dapat menyerapnya secara optimal.
Hal dasar ini bisa kita terapkan dalam keseharian. Latih hingga menjadi kebiasaan.
Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing
Ada banyak metode lain yang bisa dilakukan terkait mengolah napas ini. Seperti breathwork. Metode ini tidak mengacu ke satu nama sebagai pencetus. Ada sejumlah nama dengan kekhasannya masing-masing. Misalnya breathwork yang dikembangkan oleh Giten Tonkov. Metodenya bertujuan melepaskan trauma berlandaskan enam elemen utama, yakni napas, gerakan, emosi, sentuhan, suara/musik, dan meditasi. Atau Vivation Breathwork yang dikembangkan oleh Jim Leonard. metodenya adalah memadukan meditasi dengan teknik pernapasan circular breathing. Dr. Andrew Weil mengembangkan teknik pernapasan 4-7-8 untuk mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, mengurangi stres, dan meningkatkan relaksasi.
Teknik mana pun bisa dipilih. Namun, hal yang pentingnya adalah menyadari latihan kita, menjadikan diri kita sebagai pemimpin dalam mengolah pernapasan dalam tubuh secara sadar dan sistematis.
Di ranah kesehatan mental, olah napas ini sangat membantu. Kita akan segera tahu seseorang sedang tenang atau stres dari cara ia bernapas. Saat mengalami stres, napas akan cenderung cepat dan pendek. Hal ini terjadi sebagai akibat dari otak yang memberikan signal ke tubuh bahwa ada ancaman. Atau ketika ingatan akan trauma yang mengembalikan ingatan kita kepada peristiwa-peristiwa tak menyenangkan yang kita alami di masa lalu. Respons tubuh lebih kurang sama.
Dari andil napas yang tepat bagi kesehatan mental saja kita sudah bisa mengembangkan berbagai potensi yang kita miliki akibat sumbatan yang selama ini menghuni saluran-saluran kreasi kita.
Beberapa manfaatnya, seperti:
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
Yuk, kita mulai kembali latih napas kita untuk hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental, memetik hal-hal positif dari kehidupan, dan mengembangkan kreativitas demi diri sendiri dan semua makhluk.
Untuk yang berminat belajar BCR demi hidup yang lebih berkesadaran, sehat mental dan spiritual, serta meningkatkan posibilitas diri, mari bergabung dalam kelas BCR. Hubungi aku lewat WA, ya. Kelas terdekat di Semarang.
Sebanyak 24 orang mengikuti kelas Creation for Possibilities (CFP) dari Body Communication Resonance (BCR). Mereka datang dari beberapa kota dan bersama-sama mempelajari metode BCR pada Minggu (13/4/2025) bertempat di Klinik Utama Lineation, Jalan Lemahnendeut No.10, Kota Bandung.
Sebagai informasi, CFP merupakan bagian dari program CSR-nya BCR, berupa kesempatan belajar. Program ini bertujuan ikut memberikan kontribusi dalam menciptakan mental yang sehat dan memberdayakan komunitas. Syaratnya, apa yang sudah dipelajari di kelas tidak untuk dikomersialkan, melainkan murni untuk pelayanan.
Baca juga: Pulihkan TRauma dan Ciptakan Hidup Selaras dengan BCR
Founder BCR, dr. Dhavid Avandijaya Wartono mengatakan bahwa penyelenggaraan CFP akan dilakukan minimal dua kali dalam setahun. CFP bulan lalu merupakan kali pertama sejak BCR diluncurkan pada Desember 2024.
"Program CFP ini merupakan bagian dari kepedulian kami terhadap kesehatan masyarakat secara umum. Kami berkomitmen untuk memberikan andil melalui modalitas yang kami miliki yakni BCR, dengan memberikan pelatihan pengetahuan dan keterampilan head therapy. Pelatihan dilakukan satu hari, teori dan praktik," ungkap dr. Dhavid.
BCR dirancang untuk dapat membantu kita membuat pilihan secara sadar. Dengan kesadaran itu kita menciptakan sebuah pilihan untuk membuat posibilities baru seperti delete luka batin agar kemampuan self healing kembali pulih, delete trauma agar tubuh kembali harmoni, dan lain-lain. Dengan menggunakan metode BCR ini diharapkan peserta CFP dapat memberikan layanan sesi gratis bagi yang membutuhkan, dalam komunitas mana pun mereka berkarya.
"Melalui para peserta CFP ini kami berharap makin banyak orang yang dibantu dipulihkan. Karena healing adalah hak semua manusia," pungkas dr. Dhave.
Pengalaman Pasca Mengikuti Kelas CFP
Ada pengalaman-pengalaman unik yang dibagikan oleh peserta kelas. Semuanya mengakui adanya sensasi yang positif dari pengenalan metode BCR khusus di bagian kepala ini. Baik dari materi tertulis maupun praktik.
Peserta dari Kuningan, Ida mengaku bersyukur sekali dapat mengikuti kelas CFP.
"Alhamdulillah dengan mengikuti kelas ini saya bisa menambah pengetahuan akan diri sendiri dan tahu bagaimana cara melepaskan beban emosi negatif. Dan senangnya juga bisa membantu orang tersayang untuk rileks dan nyaman," ungkap Ida melalui pesan pendek yang disampaikan ke tim redaksi.
Ida pernah dalam perawatan psikiater karena gangguan mental yang dideritanya. Ia tidak menyerah, terus berusaha untuk bangkit.
"Saya beruntung bisa dipertemukan dengan dokter Dhavid dan teman-teman di komunitas BCR. Saya bisa belajar untuk memulihkan diri sendiri dan mempraktikkannya untuk orang yang membutuhkan," tambahnya.
Di antara waktunya sebagai ibu dari dua anak dan menjadi pedagang jajanan, Ida akan memenuhi permintaan dokter Dhavid sebagai fasilitator untuk memberikan sesi secara cuma-cuma paling tidak untuk 30 orang. Ia berencana berbagi sesi buat orang-orang dekatnya dan lingkungan Sekolah Luar Biasa di Kuningan, tempat kerja suaminya.
Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta
Hal senada disampaikan Yoss Dome. Peserta yang langsung datang dari Yogya ini mengatakan bahwa sebelumnya hanya mengenal cakra dari bacaan saja. Melalui kelas CFP, ia jadi lebih paham tentang cakra dan cara memperlakukannya. Bukan hanya mendapatkan pengetahuan baru, Yoss juga merasa bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik. Kini ia merasa lebih ikhlas menjalani hidup dengan persoalan kesehatan yang dialaminya dan melihat segala sesuatunya dengan lebih positif.
Bang Yoss atau Mas Yoss, begitu ia biasa dipanggil, mengabdikan dirinya pada berbagai aktivitas sosial dan kemanusiaan. Di antaranya sebagai relawan gempa dan tsunami, ikut membangun dan menjadi konsultan Dome House Building, sebagai relawan lembaga perlindungan saksi dan korban, dan masih banyak lainnya. Wilayah garapannya bukan hanya di Indonesia, bahkan hingga di Vanuatu, Pasifik Selatan dan Haiti, ketika dua kawasan ini diguncang gempa besar.
Saat didiagnosis mengalami gagal ginjal dan harus melakukan hemodialisis atau cuci darah, ada banyak hal yang berubah dalam kehidupan Yoss. Ia harus beradaptasi, baik dengan tubuhnya sendiri maupun aktivitas di luar dirinya. Seorang Yoss yang sangat aktif, tiba-tiba harus menjalani pengobatan intensif yang cukup banyak mengambil jatah waktunya dan menahan tubuhnya terlalu banyak beraktivitas. Bukan hal mudah bagi Yoss untuk melakoninya.
Proses dialisis sudah memasuki tahun kedua. Yoss sudah bisa beradaptasi dengan lebih baik. Pengenalannya akan BCR memberinya suntikan semangat baru untuk terus bergerak ke arah kebaikan. Setelah bergabung dalam kelas CFP, ia berkomitmen untuk membagikan pengetahuan dan keterampilang barunya. Saat ini Yoss terlibat dalam layanan pencegahan dan pendampingan terhadap korban kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta pendampingan terhadap saksi atau korban dari sebuah tindak pidana.
Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing
Bukan hanya peserta baru, kelas CFP juga memberikan pengalaman yang menarik dan seru bagi praktisi asal Semarang, Samuel Adi Nugroho. Lelaki yang akrab disapa Sem ini telah mempelajari cukup banyak modalitas, termasuk ikut kelas BCR Head and Body pada Februari lalu. Namun, bergabung kembali dengan kelas BCR khusus Head untuk program CFP ini ia mengalami sensasi-sensasi baru.
"Waktu kelas sebelumnya itu kan belum ada experience sama sekali. Nah, untuk kelas kemarin lebih banyak hal yang bisa digali dari materi maupun praktik bersama pasangan," ujar Sem.
Setelah melakukan pembelajaraan di kelas BCR maupun sebagai peserta partisipan di CFP, Sem menyadari ada beberapa perubahan yang terjadi. Hal-hal yang tidak relevan, baik soal keseharian maupun energy works dari modalitas yang ia pelajari sebelumnya ikut terlepas. Sem juga mendapati pengalaman baru, yang belum pernah ia alami sebagai praktisi saat memberikan sesi kepada klien.
"Pernah terjadi, saat memberikan sesi mendadak mata berkunang-kunang. Pernah juga mengalami haus yang luar biasa. Padahal sesi berlangsung belum sampai satu jam," tuturnya.
Saat itu Sem menghentikan sesi. Pengalaman itu memberinya tantangan untuk terus mendalami BCR untuk menemukan kondisi yang lebih selaras. Bukan hanya ke diri sendiri, hal-hal menarik juga dijumpai Sem dalam pengalaman sesi BCR-nya dengan klien. Terjadi perubahan pola perilaku dalam diri klien, di antaranya soal makanan. Menurut pengakuan klien, apa yang sebelumnya mereka sangat suka, setelah menerima sesi BCR mereka menemui sensasi berbeda. Makanan menjadi tidak enak. Menurut Sem, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan tubuh mengikuti kesadaran yang bertumbuh.
Dengan pengalaman-pengalaman menarik--meski baru dalam beberapa bulan terakhir, Sem mengakui bahwa pembelajarannya akan BCR telah membawa perubahan yang luar biasa. Ia pun meyakini hal serupa akan dialami pembelajar lainnya, mengalami posibilitas yang tanpa batas.
Bagi yang terpanggil untuk bergabung dalam Kelas BCR, kelas terdekat dilangsungkan di Semarang. Sila hubungi WA Dhenok Hastuti, ya.
Kapan hari di medsos yang --menurutku-- paling berisik sekaligus bisa jadi sumber informasi, kutemukan satu thread yang membahas perselisihan yang terjadi antara pasangan (pacar). Lebih kurang dalam tayangan itu diceritakan si laki-laki marah gara-gara mendapati darah haid pacarnya tembus ke pakaian. Reaksi netizen beragam. Tapi sebagian besarnya menyebutkan si lelaki muda itu dianggap tak cukup mendapatkan pendidikan seks (sexual education).
Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja
Sering kudengar cerita tentang anak-anak yang bertanya tentang alat kelaminnya. Atau bertanya proses kelahirannya. Atau keinginan mereka memiliki adik, yang konon bikin orang tua kewalahan untuk menjawabnya. Karena tak pernah berada di lingkungan dengan anak-anak, aku tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak secara langsung. Tapi rasanya cukup banyak kutemukan cerita yang menunjukkan bahwa sebetulnya anak-anak, bahkan dari usia balita memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Pastinya sangat disayangkan jika keingintahuan itu tidak terpenuhi lewat pemberian informasi yang memadai.
Kapan Pendidikan Seks Sebaiknya Mulai Diterapkan?
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi periode pendidikan anak dan remaja dalam kelompok usia, yakni: 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15 hingga di atas 18 tahun. Materi pembelajaran untuk anak-anak menyesuaikan pembagian usia tersebut. Termasuk bahasan terkait seksualitas.
Organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini pada 2018 lalu mengeluarkan panduan mengenai pendidikan seks (International Technical Guidance on Sexuality Education). Disebutkan ada delapan topik yang perlu dibahas dalam pendidikan seksualitas, meliputi:
Penjabarannya tak selalu mudah, terutama bagi lingkungan dan orang-orang yang menganggap seksualitas adalah hal tabu. Padahal UNESCO memberikan gambaran materi yang terbilang memudahkan.
Dua kelompok pertama adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).
Untuk kelompok usia pertama, TK hingga kelas 3 SD dapat diberikan pemahaman tentang keluarga dan peran setiap anggota keluarga. Diperkenalkan pada organ tubuh, perbedaan organ laki-laki dan perempuan, dan perlunya menjaga privasi terkait organ tubuh. Terhubung pula dengan bahasan soal hubungan sosial yang sehat.
Untuk siswa kelas 4 – 6 SD dapat dilakukan pengulangan dari materi kelas sebelumnya dengan ditambahi soal kesehatan organ reproduksi, konsep diri, dan etika berelasi sosial. Termasuk di dalamnya cara melindungi diri dari pelecehan atau kekerasan seksual.
Di kelompok tiga, kita dihadapkan kepada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memasuki SMP, anak-anak sudah mendapatkan mata pelajaran biologi, yang di antaranya mempelajari tubuh manusia. Di masa ini bisa disampaikan materi soal aneka macam relasi sosial yang lebih intim seperti pertemanan, pacaran, suami-istri. Konsep gender juga bisa diberikan, juga serta perilaku seksual dan konsekuensinya. Tak ketinggalan bahasan soal kesehatan reproduksi termasuk siklus menstruasi dan kehamilan.
Pengenalan terhadap fisik manusia juga perlu dibarengi dengan konsep penghormatan terhadap tubuh. Dengan begitu dapat dicegah potensi perilaku pelecehan maupun sebagai korban tindak pelecehan.
Kelompok terakhir, anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi.
Pada jenjang ini, para pengajar tetap perlu membahas ulang materi yang telah disampaikan sejak jenjang awal, semata memastikan para siswa memiliki pemahaman yang setara mengingat kemungkinan mereka tidak mendapatkan materi yang seragam. Materi berikutnya adalah tentang kehamilan dan kelahiran, pengendalian kelahiran, hak reproduksi, serta tugas dan peran gender. Di usia menuju dewasa ini, pembelajaran tentang kesehatan seksual makin kental, dibarengi dengan kesadaran akan dampak perilaku seksual. Mereka juga sudah mulai dibekali pengetahuan tentang membangun keluarga yang sehat.
Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta
Bagaimana Penerapan Pendidikan Seks di Sekolah?
Siapa yang tidak miris mendengar kabar peristiwa pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren. Bukan perihal lingkungannya, itu bahasan yang lain. Kebetulan saja kasus yang akhir-akhir ini berendeng muncul adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak didik di pesantren. Yang kondisinya bahkan hingga si anak-anak perempuan itu hamil.
Mendapati kabar-kabar itu, buatku pribadi, mengisyaratkan bahwa pendidikan seksual belum dijalankan dengan baik. Di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Seperti dikutip CNN Indonesia (cnnindonesia: kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum/21 Mei 2016), Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menyatakan bahwa mereka telah memasukkan materi pendidikan seksual pada 2013 untuk tiap jenjang pendidikan dalam kurikulum pembelajaran. Ia mengakui bahwa materi pendidikan seksual tidak dicantumkan dalam kurikulum. Namun, secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi.
Hamid Muhammad menyampaikan hal tersebut sebagai bantahan atas opini yang beredar di masyarakat yang menganggap Kemdikbud abai terhadap isu pendidikan seks ini. Saat itu (2016), Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu dijadikan kurikulum tersendiri. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa menyampaikan materi pendidikan terkait kesehatan reproduksi, pelajar bakal bisa memahami soal seksualitas. Saat itu, tampaknya detail model pengajaran diserahkan ke masing-masing sekolah. Dengan begitu, rasanya sulit, ya, untuk membuat evaluasinya.
Sayangnya aku tak berhasil menemukan sumber informasi terbaru soal kebijakan pendidikan seks ini dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Tolong ingatkan, ya, kalau memang pasca UNESCO mengeluarkan rekomendasi pembelajaran tentang pendidikan seks ada kebijakan baru dari pemerintah.
Sejauh ini, dalam bayanganku detail pendidikan seksual ini diserahkan ke masing-masing institusi. Kemudian menjadi penting apa yang harus disiapkan orang tua. Bagaimana topik-topik soal pendidikan seks bisa dijadikan bagian dari parenting modern. Orang tua membekali anak-anaknya dengan pemahaman yang tepat perihal seksualitas. Tak perlu dilakukan pembatasan aktivitas anak jika mereka memahami pilihan tindakannya.
Dengan kelonggaran akses internet, keingintahuan anak-anak perihal seksualitas dapat dengan mudah dipenuhi oleh internet, yang berpotensi melahirkan perbedaan nilai. Tetap, menjadi PR bagi orang tua agar anak-anak memiliki pemahaman yang tepat tentang seksualitas. Pada saatnya, mereka tahu cara menempatkan diri di tengah lingkungannya, tak lagi gagap saat ada persoalan datang. Mereka akan menjadi anak-anak yang memahami tubuh dan dirinya secara utuh, dapat melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual, dapat berlaku adil terhadap sesama.
Pendidikan seks yang tepat dapat membawa generasi muda menuju masa depan yang sehat. Tanpa asumsi, tanpa prasangka, tanpa penghakiman, menghargai tubuh, dan menghormati pilihan orang lain.
Baca juga: Kekerasan Verbal dan Trauma Healing